"Engkau harus membakar diri dalam apimu sendiri, bagaimana mungkin engkau bisa menjadi baru jika engkau tidak bisa menjadi abu terlebih dahulu"
Nietzche mengatakan demikian, karena pada dasarnya hari ini banyak terdapat manusia yang selalu menginginkan sesuatu hal yang di dapatnya itu secara instan.
Namun demikian, semua itu menjadi persoalan lumrah dan digandrungi oleh semua kalangan. Rasa-rasanya terlalu hina, menginginkan sesuatu hal tanpa ada keringat yang di kucurkan dan tenaga yang di korbankan.
Dunia ini terlalu sesak di isi oleh orang-orang seperti itu, menertawakan hal-hal yang orang lain tangisi. Ketika orang lain terbawa arus, ketika orang lain hanyut, kita mesti mampu membalikan arah kita yang akan di tuju dan pilihlah untuk menjadi manusia merdeka yang bergerak melangkah sesuai dengan kehendak hati nurani.
Antara nafsu dan hati tentunya ini yang selalu berkontradiksi, kadang orang tidak menyadari bahwa dia sedang berjalan di atas nafsunya bukan berjalan di atas kehendak hatinya. Dari mulai persoalan dendam, kedengkian terkadang mereka berdalih atas dasar hati yang tersakiti, yang kemudian dirinya menjadi lupa diri dan tidak terkendali.
Apalah guna ilmu pengetahuan, pendidikan tinggi, titel negeri, baju berdasi. Tapi tidak bisa menggunakan se gumpal hati untuk memberi dan mengasihi orang-orang yang berada di tengah gemerlapnya kota dan gelapnya desa, yang diam di sudut gedung dan toko bahkan tumpukan sampah sebagai selimut penghangat di kala mereka kedinginan.
Gunakanlah jabatanmu untuk menyucikan hatimu, bukan malah mengotori dan membuat hati orang banyak terluka, dengan seucap janji yang begitu manis masuk ke dunia pikiran dan pahit ketika turun lewat kerongkongan.
Sebagaimana che guevara mengatakan bahwa "banyak diantaranya orang orang meluruskan rambut, namun mengapa enggan untuk meluruskan hati" apalagi menyucikan nya. Sekalipun tuhan memberikan mata untuk melihat dan hati untuk merasa, tetap saja ini tumpul untuk orang yang sudah terbutakan oleh gemerlapnya jabatan.
Aku adalah orang yang hidup dikala semuanya menjadi bias. Bias akan kebenaran, bias akan keadilan dan bias akan kemanusiaan. Untung saja di negara ini masih terdapat banyak orang yang kuat, hidup tanpa mengaharapkan janji, mengalir seperti pelan nya air sungai dan tetap hidup dengan damai.
Persoalan politis bukan suatu hal yang harus kita tinggalkan, akan tetapi semua itu harus kita hadapi dengan pikiran yang jernih, pengetahuan yang mumpuni tentunya tetap menggunakan hati tanpa harus di politisasi ketika kita duduk di kursi.
~ketika negara ini di analogikan sebagai langit, jadilah kamu sebagai matahari, yang menerangi di kala siang, jadilah kamu seperti rembulan, yang menerangi di kala malam, dan jadilah kamu bintang-bintang ketika langit tertutupi oleh awan-awan.
Deni permana,
Bandung, 26 Desember 2019

Beri kami masukan 😊
BalasHapusMantul mantul sahabat
BalasHapus